Source : 1100+ ISLAMIC STORIES
Author : Anacdotes of Ahlul Bayt (a.s)
Website: http://anecdotesofahlulbayt.blogspot.in/
Website: http://anecdotesofahlulbayt.blogspot.in/
Zainab the Great Liar (Zainab penipu besar)
During the caliphate
of Mutawakkil ‘Abbasi, a woman claimed that she was Zainab, the daughter of
Fatimah Al-Zahra (as).
Pada waktu masa khalifah Mutawakkil ‘Abbasi,
seorang wanita mengaku bahwa dirinya adalah Zainab, putri dari Fatimah Al-Zahra
(as)
“Years have passed
since the time of Zainab, but you appear to be young,” Said Mutawakkil to her.
Bertahun-tahun lama sudah berlalu sejak masa
Zainab, tapi engkau muncul dengan menjadi muda,” kata Mutawakkil padanya.
“The Noble Prophet
(S) caressed my head and prayed that every forty years I should become young
again!” said the woman.
“Nabi yang mulia (S) mengusap kepalaku dan
berdoa bahwa setiap empat puluh tahun saya akan muda kembali!” jawab wanita
itu.
Mutawakkil called for
the elders from the progeny of Abu Talib, ‘Abbas and the Quraish and placed the
issue before them. All of them unanimously averred that the woman was lying
because Zainab had died in the year 62 ah.
Mutawakkil memanggil para tetua dari keturunan
Abu Talib, ‘Abbas dan Quraish, lalu memberitahu persoalan dihadapan mereka.
Semua dari mereka menyatakan dengan sepakat bahwa wanita itu sedang berbohong
karena Zainab telah meninggal pada tahun 62 ah.
Zainab, the great
liar retorted, “They are the ones who lie. I had concealed myself from the
people and none knew of my whereabouts until today.”
Zainab, pendusta besar menjawab ketus,
“Merekalah orang-orang yang berbohong. Aku telah menyembunyikan diriku sendiri
dari orang-orang dan tak ada satupun yang tahu keberadaanku sampai hari ini.”
“You must establish
the falsity of her claims by means of proofs,” insisted Mutawakkil to the
Elders.
“Kalian harus menunjukkan kepalsuan dari
pengakuan dia dengan alat bukti,” desak Mutawakkil kepada para tetua.
“Ask Imam Hadi (as)
to prove false her claims,” they advised. Mutawakkil called for the Imam (as)
and informed him of the issue.
“Bertanyalah pada Imam Hadi (as) untuk
membuktikan kepalsuan dari pengakuannya,” mereka menyarankan. Mutawakkil
memanggil Imam (as) dan memberitahunya tentang persoalan itu.
“She lies, for Zainab
had died in such and such year,” said the Imam (as)
“Dia berbohong, Zainab telah meninggal pada
tahun yang sudah begitu lama dahulu,” jawab Imam (as)
“Present your
evidence to prove false her claim,” Mutawakkil demanded.
“Perlihatkan fakta-fakta engkau untuk
membuktikan kepalsuan dari pengakuannya,” pinta Mutawakkil.
The Imam (as) said,
“The flesh of the children of Fatimah (as) is forbidden upon the wild beasts;
send her before the lions if she speaks the truth!”
Imam (as) mengatakan, “daging dari anak-anak
Fatimah (as) terlarang bagi hewan-hewan buas; kirim dia didepan singa-singa
jika dia berbicara benar!”
Mutawakkil turned to
the woman for an answer.
Mutawakkil mengganti giliran untuk wanita itu
memberi sebuah jawaban.
“In this way, he
desires to kill me,” said the woman.
“Dalam hal ini, dia berkeinginan untuk
membunuhku,” jawab wanita itu.
“A number of people
from the progeny of Fatimah (as) are present here. You can send whoever you
desire (before the wild beasts),” responded the Imam (as).
“Sejumlah orang dari keturunan Fatimah (as)
hadir disini. Engkau bisa mengirim siapapun yang kau inginkan (kedepan
hewan-hewan buas),” jawab Imam (as).
The narrator states:
“The faces of all the sadat present in the gathering turned pale. Some said,
“Why does he not go himself instead of referring to others?”
Orang yang bercerita menyatakan: muka dari semua
yang hadir dalam perkumpulan itu berubah pucat. Beberapa berkata, “Mengapa dia
tidak pergi sendiri malahan menunjuk orang lain?”
Mutawakkil asked the
Imam (as) why he himself was not going before the lions. The Imam (as)
instantly agreed to go. Mutawakkil ordered for a ladder, and the Imam (as) entered
into the enclosure where the lions were maintained. The wild beasts, in
submission and humility, placed their heads on the ground before the Imam
(as) and he in turn, caressed their
heads. A little later he ordered them to move aside and all of them obeyed!
Mutawakkil bertanya kepada Imam (as) mengapa dia
sendirilah yang tidak pergi kehadapan singa-singa tersebut. Imam langsung setuju
untuk pergi. Mutawakkil meminta sebuah tangga. Lalu Imam (as) masuk kedalam
tanah yang berpagar dimana singa-singa itu dipelihara. Hewan-hewan buas itu, dalam ketundukan dan
kerendahan hati, meletakkan kepala mereka ketanah didepan Imam (as) dan Imam
(as) bergantian, mengelus kepala mereka. Sesaat kemudian Imam (as) memerintahkan
mereka untuk bergerak pindah kesamping dan mereka semua mematuhi!
Mutawakkil’s minister
advised him, “Ask Imam Hadi (as) to come out immediately for if the people
witness this miracle, all of them would flock to him.”
Menteri Mutawakkil menyarankan Mutawakkil,
“Pintalah Imam Hadi (as) to keluar dengan segera karena jika orang-orang
menyaksikan keajaiban ini, semua dari mereka akan berkumpul pada Imam.”
The ladder was laid
again and the Imam (as) climbed out.
Sebuah tangga diletakkan lagi dan Imam (as) menaikinya
keluar.
“Whoever is of the
children of Fatimah (as) should come forward and sit amongst the wild beasts,”
proclaimed Imam Hadi (as).
“Siapapun dari keturunan Fatimah (as) harus maju
kedepan dan duduk diantara hewan-hewan buas tersebut,” Imam Hadi (as)
memproklamirkan.
The woman (having
witnessed the scene) admitted, “O’ Imam! My claims are false. I am the daughter
of a certain destitude, and poverty forced me to resort to this deception.”
Mutawakkil ordered his guards to throw the woman to the lions but his mother intervened
and intercede for Zainab who has then pardoned.” (Muntahal A’mal, Volume 2,
Page 368)
Wanita itu (setelah menyaksikan pemandangan
tadi) mengaku, “O’ Imam! Pengakuanku adalah palsu. Saya adalah anak perempuan
dari orang yang miskin, dan kemiskinan memaksaku untuk memilih penipuan seperti
ini.” Mutawakkil memerintahkan penjaga-penjaganya untuk melempar wanita itu pada
singa-singa tapi Ibu Mutawakkil menghalangi dan mencegahnya lalu kemudian dia diampuni.” (Muntahal A’mal, Volume 2, Page 368)
Reference: Anecdotes for Reflection Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar